Rabu, 30 Maret 2011

My Hero - Pahlawanku

Pahlawan Lalu Lintas Bergaji Cepek
BERGAYA: Muhammad Nur dalam aksinya mengatur lalu lintas.























"Heroes are selfless peoples who perform extraordinary acts. The mark of heroes is not necessarily the result of their action, but what they are willing to do for other and for their chosen cause. Even if they fail, their determination lives on for others to follow. Their glory lies not in the achievement, but in the sacrifice." (Susilo Bambang Yudhoyono, Time, 10 Oktober 2005, hal 58).
“Pahlawan adalah orang-orang yang tidak egois yang melakukan tindakan luar biasa. Penghormatan terhadap pahlawan tidak harus selalu dilihat dari hasil perbuatannya, tetapi juga dari keinginannya untuk berbuat sesuatu terhadap orang lain dan berdasarkan tujuan yang dipilihnya. Meskipun gagal, kemauan kerasnya untuk berbuat sesuatu pada orang lain akan terus dikenang. Kejayaan seorang pahlawan tidak diukur dari hasil yang dicapai, melainkan kesediaannya untuk berkorban”. Begitulah definisi pahlawan yang ditulis oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam esainya yang berjudul The Making of A Hero.
z
BERDIRI di tengah jalan perempatan mengatur para pengendara sambil sesekali meniup peluitnya. Itulah pengatur jalan yang biasa dipanggil polisi cepek. Fungsinya hampir sama seperti polisi, namun tidak berseragam dan tidak mendapatkan bayaran. Bayaran hanya didapat dari pengguna jalan yang secara sukarela memberi. Itupun tak banyak, biasanya orang memberi uang logam lima ratusan, seribu rupiah, atau terkadang lima ribuan. Inilah alasan mengapa disebut polisi cepek.
Menjadi polisi cepek bukanlah suatu hal yang menguntungkan, mengingat pekerjaannya melelahkan, dan penghasilannya tak banyak. Namun, Muhammad Nur justru memilih pekerjaan tersebut dan selalu mengerjakannya dengan senang hati.
Ketika ditanya alasannya memilih pekerjaan ini sebagai penopang hidupnya, pria asli Medan ini hanya menjawab bahwa ia hanya ingin melakukan pekerjaan yang halal. Apalagi apabila pekerjaan yang dilakoninya positif dan berguna bagi orang lain.
Bila pernah melihat iklan salah satu minuman isotonik bermerk Mizone di televisi, tampak polisi mengatur lalu lintas sambil bergerak lincah dengan semangat seperti sedang mengikuti irama lagu. Ternyata, hal itu tidak hanya bisa dijumpai dalam iklan tersebut. Di perempatan, tepatnya di perempatan antara Kebonsari – Gayungsari – Gayung Kebonsari Surabaya Selatan, Muhammad Nur bekerja sambil bergerak seperti sedang nge-dance seperti dalam iklan Mizone. Bedanya, dalam iklan Mizone ada musiknya, sedangkan Nur membuat musiknya sendiri melalui irama siulan peluit yang ditiupnya.
Cara yang dilakukan Nur memang unik, dan ia melakukannya bukan tanpa tujuan. Ia ingin, selain membantu mengatur lalu lintas pengendara, ia juga bisa menghibur para pengguna jalan melalui aksinya. Tak jarang ia diwawancarai oleh berbagai media di Surabaya karena keunikannya dalam mengatur lalu lintas.
Bapak beranak dua ini tidak serta merta langsung bekerja sebagai polisi cepek. Perjalanan karirnya sebelum menjadi seorang polisi cepek cukup panjang. Karirnya diawali dengan menjadi seorang supervisor di salah satu foodcourt di Malaysia. Bersama istrinya, ia bertugas untuk mengawasi orang-orang Indonesia yang bekerja di foodcourt tersebut. Wah, siapa sangka Nur yang polisi cepek ini sudah pernah mengunjungi Malaysia. Bahkan sebelum tinggal di Malaysia, pria ini sempat singgah di Thailand dan Singapura. “Untuk mencari pengalaman, mumpung masih muda,”begitu katanya.
Pada tahun 1998, pasca lengsernya Suharto, seluruh penduduk Indonesia yang berada di luar negeri diminta untuk kembali ke Indonesia. Tak terkecuali Nur yang sebenarnya sudah merasa sejahtera tinggal di Malaysia. Tetapi sebagai warga negara yang baik, Nur dan istrinya memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Di Indonesia, tempat yang dituju adalah tempat kelahirannya, yakni kota Medan Sumatra Utara.
Di luar dugaan, kondisi Medan saat itu hancur lebur. Karena merasa memiliki kewajiban menghidupi keluarganya, akhirnya Nur memutuskan untuk pergi ke rumah mertuanya di Blitar Jawa Timur. Merasa tak cocok dengan mata pencaharian di Blitar yang didominasi dengan pertanian, Nur memutuskan untuk merantau ke Surabaya. Apapun pekerjaannya, asalkan halal akan dilakoni, tekadnya.
Di Surabaya, mencari pekerjaan juga tak mudah. Awalnya ia ikut temannya yang bekerja sebagai buruh bangunan. Namun karena dianggap pekerjaannya itu tidak manusiawi maka ia memutuskan untuk mencari pekerjaan lain. Dan akhirnya sampailah ia pada pekerjaannya sekarang ini sebagai polisi cepek alias pengatur lalu lintas. Untuk menambah penghasilannya yang pas-pasan, ia pun membuka usaha warung di daerah Darmo yang diberi nama Embah-Embah Gaul. “Biar keren gitu,”ungkapnya.
Bapak beranak dua ini memulai profesi ini pada tahun 2001. Saat itu kondisi jalanan tak sepadat sekarang dan jalanan masih berkerikil belum diaspal seperti sekarang. Mengatur lalu lintas merupakan hal yang melelahkan. Tentu saja Nur tidak melakukannya sendiri. Ia mencari beberapa orang untuk membantunya. Saat itu ia dibantu empat pemuda asal Jawa Tengah yang juga pontang-panting mencari pekerjaan. Tetapi mereka akhirnya pulang kampung karena terjadi gempa di Jogja dan sekitarnya pada 2006 silam.
Seperti kehilangan pasukannya, Nur berusaha untuk segera mencari anak buah baru untuk membantu pekerjaannya yang biasa dilakukan bergantian sesuai shift jaga. Kemudian ia pun mendapatkan tiga personil yang siap membantu menjaga stabilitas jalanan di lokasi jaga.
Sebagai koordinator wilayah alias korwil, pria yang jiwa mudanya masih berapi-api ini mengajarkan pada teman-temannya tata cara mengendalikan lalu lintas. Tak hanya itu, ia juga mengajarkan untuk tetap sabar dan ikhlas menerima berapapun nominal uang yang diberikan.
Banyak polisi-polisi cepek yang bekerja tanpa sepengetahuan polisi. Jadi mereka akan buru-buru lari begitu melihat polisi. Namun dalam wilayahnya, pekerjaan Nur merupakan bagian dari pekerjaan polisi. Ia tercatat dalam Sukarela Pengatur Lalu Lintas alias SUPELTAS. Tugasnya sebagai pengayom pengguna jalan di wilayah kerjanya.
Meski telah diakui oleh pihak kepolisian, namun tak jarang polisi cepek narsis ini  mendapatkan perlakuan kasar dari polisi. Seringkali polisi memerintah dengan kasar dan dengan kata-kata yang menyakitkan. “Jangan dilihat dari baju, dari pangkatnya. Alah, kita semua ini sama lah. Jangan karena pakai baju tentara, baju polisi gitu terus bertindak seenaknya. Ya saya hargai lah bajunya, tapi orangnya enggak”, ungkapnya karena merasa kecewa dengan perlakuan polisi.
Banyak hal yang bisa dipetik dari seseorang yang sering diremehkan orang karena pekerjaannya ini. Kisah hidupnya begitu menarik. Meskipun banyak orang yang menganggap rendah pekerjaannya, namun ia tetap dengan senang hati melakukannya sambil terus berpikir positif. Yang terpenting baginya adalah bagaimana ia bisa membuat hidupnya bermanfaat dan dibutuhkan orang lain. Ia mengabdikan hidupnya untuk menolong sesamanya dengan cara mengatur lalu lintas. Berapapun uang yang diberikan padanya diterima dengan ikhlas. Ia melakoni pekerjaan ini, dengan tanggung jawabnya untuk mengabdikan dirinya demi kepentingan orang lain, dan tentunya untuk menafkahi keluarganya. Bagaimanapun susahnya, sebagai kepala keluarga, ia tetap merasa bahwa sudah kewajibannya untuk menghidupi anak istrinya.
Menjadi pahlawan bukanlah hal yang mudah. Tetapi usaha untuk menjadi pahlawan juga perlu diapresiasi. Siapapun bisa menjadi pahlawan. Asalkan orang tersebut baik, berani, rela berkorban, pantang menyerah, lebih berbahagia memberi daripada menerima dan tentunya memperjuangkan hal yang positif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar