Selasa, 08 Maret 2011

Tak Lelah Menghadapi Pasien Gangguan Jiwa


Jangan Sebut Aku Gila!


















Jangan sebut mereka gila, sebut saja mereka orang yang mengalami gangguan jiwa!

BEBERAPA orang beranggapan bahwa rumah sakit jiwa itu menakutkan, bukan karena suasana horornya, namun karena banyak orang gila yang berkeliaran dan suka senyum-senyum sendiri. Terkadang ada juga yang tiba-tiba mengamuk dan menjerit histeris tanpa diketahui maksudnya.

Itu tadi hanya gambaran yang dijumpai dalam sinetron-sinetron dan film yang dibumbui dramatisasi sehingga cukup ampuh dalam membuat penonton paranoid dan berpikir negatif tentang rumah sakit jiwa. Hal itu pulalah yang terbayang ketika mengunjungi Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur Surabaya. Masih berada di parkiran saja rasanya sudah was-was, khawatir jika tiba-tiba ada orang gila yang berkeliaran dan melakukan tindakan aneh seperti di film-film. Namun...

Sepi. Tak ada orang berkeliaran apalagi marah-marah sendiri. Hati pun mulai bertanya-tanya, apakah ini benar-benar instalasi rawat inap di rumah sakit jiwa. Sungguh berbeda dengan yang digambarkan di film-film. Sepasang mata pun mulai sibuk mencari siapapun yang bisa ditanyai perihal seluk beluk penanganan pasien di rumah sakit ini.

Dari kejauhan tampak beberapa orang berseragam putih yang sedang bersantai di depan musholla. Mereka adalah para mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan dari Universitas Media Husada Madura yang sedang praktik merawat pasien-pasien gangguan jiwa. Dari perawat-perawat ini, salah satu diantaranya bernama Abdul Hamid. Pria yang sudah sebulan bertugas ini merupakan mahasiswa perawat yang ditempatkan di Ruang Wijaya Kusuma.

Terdapat beberapa ruang perawatan bagi pasien gangguan jiwa. Yang pertama adalah Ruang Wijaya Kusuma. Ruang ini berisi pasien yang baru saja masuk ke rumah sakit. Dalam ruang ini, kondisi pasien cenderung masih susah diatur, perilakunya bisa membahayakan dirinya sendiri atau orang di sekitarnya. Ruang Wijaya Kusuma bisa dibilang sebagai ruang perawatan intensif bagi pasien gangguan jiwa.

Setelah penyebab pasien mengalami gangguan jiwa diketahui, mulai tenang dan bisa diatur, maka pasien bisa dipindahkan ke ruang perawatan lain dimana pasien laki-laki dan perempuan akan dipisah. Pasien laki-laki ditempatkan di Ruang Kenari, dan wanita di Ruang Flamboyan. Untuk keluarga pasien yang bisa membayar lebih, pasien bisa ditempatkan di ruang VIP, yakni Ruang Anggrek.

Abdul Hamid menjelaskan bahwa penanganan pasien sakit jiwa memang ditempatkan dalam ruangan khusus dan tidak dibiarkan berkeliaran karena dikhawatirkan akan membahayakan keselamatan orang lain. Orang sakit jiwa tidak mempunyai pertahanan diri dan tidak bisa berpikir seperti biasanya. Maka apabila seseorang memperlihatkan tanda-tanda penyakit ini pun harus segera dibawa ke rumah sakit jiwa. Semakin cepat penderita ditangani, maka akan semakin baik sehingga proses pengobatan tidak memakan waktu lama dan tidak menelan banyak biaya.

Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang berpikiran sempit yang masih menganggap bahwa penyakit ini merupakan sakit kiriman, santet atau penyakit karena hal-hal gaib lainnya. Di berita-berita pun masih sering dijumpai masyarakat yang memperlakukan penderita sakit jiwa dengan memasung dan mengurungnya di tempat terpencil yang jauh dari warga, karena dianggap berbahaya. Padahal, pemasungan hanya akan menyebabkan seseorang makin sakit, baik secara fisik maupun secara mental, jelas tindakan ini tidak dapat dibenarkan. Ada juga yang beralasan tidak mampu menanggung biaya perawatan di rumah sakit, padahal biaya di rumah sakit jiwa hampir sama dengan di rumah sakit pada umumnya. Dan karena di Indonesia semua rumah sakit jiwa adalah milik pemerintah, maka biaya perawatan di rumah sakit bisa mendapat bantuan melalui asuransi kesehatan atau kartu keterangan keluarga miskin.

Dalam menangani pasien sakit jiwa, keluarga mengambil peran yang sangat penting, selain peran dokter dan perawat yang juga dibutuhkan. Di tahap awal, keluarga harus bisa memahami dan berani menerima kenyataan bahwa salah satu anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa. Kemudian, penderita langsung dibawa ke rumah sakit jiwa agar segera memperoleh penanganan yang tepat. Dalam proses penanganannya, apakah penderita kelainan jiwa harus dirawat inap atau tidak, tergantung dari analisis dokter. Dokter akan melihat bagaimana cara pandang prilaku serta potensi bahaya. Jika pasien bisa menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan orang sekitarnya. Maka diambil keputusan, ia harus dirawat inap. Selanjutnya dilakukan proses rehabilitasi.

Keluarga juga harus bersedia menerima kehadirannya ketika penderita sudah sembuh. Masih banyak masyarakat yang menilai bahwa sakit jiwa tidak bisa disembuhkan, sehingga penderita dikucilkan dan didiskriminasi walaupun sebenarnya ia telah sembuh.

Dalam rehabilitasi, keluarga harus kerap mengunjungi pasien, apalagi bagi pasien yang masih berada di Ruang Wijaya Kusuma. Karena kondisi pasien masih parah, pihak keluarga harus selalu menemaninya. Paling tidak setiap hari ada waktu yang disisihkan untuk mengunjunginya. Sehingga ada yang bertanggung jawab dan dimintai keterangan perihal pasien.

Untuk merawat pasien ‘khusus’ ini, jelas Hamid, harus ada BHSP, Bina Hubungan Saling Percaya. Perawat harus bisa membuat pasien bisa mempercayainya. Memang tak mudah, memakan waktu yang tak sebentar, serta membutuhkan kesabaran ekstra, tetapi perawat harus bisa membuat pasien mempercayainya. Dengan begitu pasien bisa mengungkapkan permasalahannya sehingga pasien bisa dibantu dan diberikan penanganan yang tepat. Waktu yang diperlukan untuk menciptakan BHSP berbeda-beda antara pasien satu dengan yang lainnya. Ada yang hanya dua hari sudah bisa membina hubungan saling percaya, ada pula yang bebar-benar introvert yang sampai sebulan lebih baru bisa menerima peran perawat. Tergantung pada kondisi psikis pasien.

Pasien dengan gangguan jiwa tidak menyadari apa yang dilakukannya. Dia bisa saja bertindak dengan tindakan-tindakan yang bisa memancing emosi perawatnya. Tetapi, sekali lagi, perawat harus selalu mempunyai persediaan kantung-kantung kesabaran. Karena kalau perawatnya juga emosi, maka akan semakin memancing emosi pasien, walaupun terkadang paksaan dan gertakan juga diperlukan untuk membuat pasien takut dan tunduk, porsi gertakan sendiri juga masih disesuaikan dengan tingkat kegilaan pasiennya.

Selain perawatan psikis dan mental, perawatan juga perlu dibantu dengan obat-obatan, makanan bergizi dan ajakan untuk menciptakan pola hidup sehat. Pasien-pasien gangguan jiwa ini juga makan tiga kali sehari dan mandi dua kali sehari seperti halnya orang normal. Namun caranyalah yang sedikit berbeda. Untuk makan dan mandi, mereka masih perlu diarahkan. Banyak juga dari mereka yang tidak ingin mandi dan juga memberontak ketika diminta untuk makan dan minum obat.

Hamid menambahkan, pemicu utama gangguan kejiwaan adalah karena stres yang mendalam. Stres bisa terjadi karena kehilangan sesuatu yang ditangani, bisa orang yang disayangi, atau mungkin pekerjaan. Kurang perhatian, atau sebaliknya, terlalu dikekang, bisa menjadi penyebab utama stres yang nantinya berujung pada sakit jiwa. Broken home juga bisa menjadi pemicunya. Tak sedikit juga pasien  yang menjadi gila karena terlilit hutang.Selain itu, gangguan kejiwaan sering diberitakan di media-media beberapa waktu lalu, tatkala calon legislatif tidak memenangi perolehan suara. Sebagian orang yang gagal menduduki kursi legislatif tersebut mengalami guncangan jiwa dan kerap melakukan hal-hal konyol dan tidak masuk akal. Pihak rumah sakit sendiri sudah mempersiapkan diri untuk menerima pasien-pasien pasca pemilu legislatif.

Masih asyik-asyiknya Hamid menjelaskan, tiba-tiba muncul seseorang berpakaian seragam pasien berwarna coklat. Bukankah pasien tidak dibiarkan berkeliaran di luar kamar. “Tidak apa-apa, pasien yang satu ini sudah jinak,”jelas Hamid. Pasien ini sudah dinyatakan delapan puluh persen sembuh. Dalam taraf ini, pasien sudah bisa kooperatif dan sudah mengenal penyakitnya. Karena sesungguhnya orang gila tidak mengerti bahwa dirinya sedang gila.

“Namaku Arif Syaifudin,” ucap pasien itu memperkenalkan diri. Ia terlihat seperti orang normal, ia juga menunjukkan bahwa dirinya bisa solat. Bahkan ia juga bisa mempraktikkannya mulai dari niat, membaca Al-Fatihah, surat-surat pendek dan seterusnya sampai salam. Benar-benar seperti anak kecil yang masih polos dan tanpa malu-malu. Ia juga tidak takut untuk mengajak berkenalan dan bertukar nomor handphone (HP). “Disini nggak boleh bawa HP, tapi di rumah, aku punya HP. Biar nanti setelah aku keluar dari sini bisa telpon-telponan, “ lanjut Arif. Ia juga menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak uang dan bisa menyebutkan siapa saja nama orang-orang yang memberikannya uang. Pasien ini pun juga siap berpose manakala diminta gambarnya.

Sesungguhnya, tingkat kecerdasan orang yang mengalami gangguan jiwa tidak berubah, yang berubah hanyalah arus dan cara berpikirnya. “Saya saja pernah diceramahi pasien sampai panjang lebar. Ada juga pasien yang mahir berbagai bahasa, bisa Bahasa Inggris, Bahasa Arab dan Bahasa Mandarin. Padahal yang normal saja belum tentu sepandai itu,” cerita Hamid. Pria yang tinggal di Bangkalan itu juga mengisahkan bahwa dia juga banyak belajar dan mendapat banyak ilmu dari pasien-pasien di rumah sakit jiwa ini. Bahkan, pasien yang hampir sembuh seperti Arif, bisa membantu perawat untuk menenangkan dan menimbulkan BHSP dengan pasien-pasien baru. Mungkin karena dia juga pernah berada dalam posisi itu sehingga bisa merasakan apa yang dirasakan pasien-pasien baru. Arif juga menjadi lebih peka dan mengerti cara mengatasi penyakitnya. Ketika jadwal minum obat tetapi obatnya belum datang, dia terus bertanya pada petugas, “Mana obatnya, mana obatnya, nggak boleh terlambat”. Ketika obatnya berbeda pun dia akan protes, obat yang biasanya warna biru, tetapi di beri obat warna lain, ia tak mau meminumnya. Ia sudah memahami kebiasaan sehari-harinya.

Ditanya perihal suka duka selama merawat pasien gangguan jiwa, Hamid mengungkapkan bahwa rasa dukanya lebih banyak daripada sukacitanya. Hamid pernah hampir dipukul dari belakang oleh salah satu pasien, ia juga pernah diludahi pasien ketika mencoba membujuknya untuk mandi. Namun, senyum menggaris di bibirnya ketika melihat kekonyolan dan tingkah polah lucu para pasien.

Sungguh besar dan mulia pengorbanan perawat pasien gangguan jiwa. Mereka bisa sebaik mungkin memahami dan menahan emosinya di depan pasiennya. Tak mudah untuk menjadi sabar dan telaten seperti halnya perawat-perawat tersebut yang harus tetap tersenyum meskipun terkadang tingkah laku pasien benar-benar keterlaluan.

Di akhir perbincangan, Hamid berpesan untuk selalu melakukan pekerjaan yang disukai, sehingga tidak terbelengu dan menjadi stres, karena stres yang dalam bisa mengakibatkan gangguan jiwa. “Jangan masuk kesini sebagai pasien ya!”pesannya sambil tertawa. (hmf)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar